Sejarah Pengumpulan Al-Qur’an:
Dari Wahyu ke Mushaf
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW selama 23 tahun. Sepanjang periode itu, wahyu disampaikan secara bertahap dan tidak langsung dalam bentuk tertulis yang lengkap seperti yang dikenal saat ini. Oleh karena itu, proses pengumpulan Al-Qur’an menjadi salah satu langkah penting dalam sejarah Islam untuk menjaga keaslian dan kemurniannya.
Tahap Pengumpulan di Zaman Nabi Muhammad SAW
Pada masa Nabi Muhammad SAW, wahyu disampaikan oleh Malaikat Jibril. Setiap kali wahyu turun, Nabi akan menyampaikan wahyu tersebut kepada para sahabatnya. Sebagian dari mereka menghafalnya, sementara yang lain mencatat wahyu tersebut di berbagai media seperti pelepah kurma, batu, kulit, dan tulang belulang. Nabi Muhammad SAW juga menunjuk beberapa sahabat untuk menjadi penulis wahyu, di antaranya adalah Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, dan Ali bin Abi Thalib. Mereka bertugas untuk mencatat wahyu yang turun sesuai dengan arahan Nabi.
Meskipun wahyu-wahyu ini telah dihafal dan dicatat oleh para sahabat, pada masa Nabi, Al-Qur’an belum dikodifikasikan dalam satu kitab yang terstruktur rapi. Ayat-ayat dan surah-surah disusun sesuai dengan petunjuk langsung dari Nabi Muhammad SAW. Namun, karena wahyu masih terus turun hingga wafatnya Nabi, pengumpulan secara lengkap belum dilakukan pada masa ini.
Pengumpulan di Masa Khalifah Abu Bakar As-Siddiq
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW pada tahun 632 M, kekhawatiran mulai muncul mengenai keberlangsungan dan keutuhan Al-Qur’an. Pada saat itu, banyak sahabat yang menghafal Al-Qur’an, atau dikenal sebagai huffaz, mulai gugur dalam pertempuran, terutama dalam perang Yamamah pada tahun 633 M. Dalam pertempuran tersebut, sejumlah besar penghafal Al-Qur’an terbunuh, yang memicu kekhawatiran bahwa sebagian besar isi Al-Qur’an bisa hilang.
Khalifah Abu Bakar, atas saran dari Umar bin Khattab, akhirnya memerintahkan pengumpulan Al-Qur’an dalam satu mushaf. Tugas ini diberikan kepada Zaid bin Tsabit, yang merupakan salah satu penulis wahyu di masa Nabi. Zaid bin Tsabit menjalankan tugas ini dengan sangat hati-hati. Ia tidak hanya mengandalkan hafalan para sahabat, tetapi juga memeriksa catatan-catatan tertulis yang ada. Setiap ayat yang dikumpulkan harus diverifikasi oleh dua saksi yang mendengar langsung dari Nabi Muhammad SAW. Setelah semua ayat dikumpulkan dan disusun dalam satu mushaf, Al-Qur’an ini disimpan oleh Khalifah Abu Bakar, dan kemudian diwariskan kepada Umar bin Khattab saat ia menjadi khalifah, serta disimpan oleh Hafshah binti Umar, putri Umar, setelah Umar wafat.
Kodifikasi di Masa Khalifah Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, Islam telah menyebar ke berbagai wilayah yang jauh dari jazirah Arab. Perbedaan dialek dan cara membaca Al-Qur’an mulai menimbulkan kekhawatiran akan adanya perpecahan dalam umat Islam. Beberapa sahabat di berbagai wilayah menggunakan cara membaca yang berbeda, yang berpotensi menimbulkan konflik. Untuk mencegah hal ini, Utsman bin Affan memutuskan untuk membuat standar penulisan Al-Qur’an yang dapat digunakan di seluruh wilayah kekuasaan Islam.
Utsman membentuk sebuah panitia yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit, yang sebelumnya telah mengumpulkan mushaf pada masa Abu Bakar. Panitia ini ditugaskan untuk membuat beberapa salinan dari mushaf yang telah disimpan oleh Hafshah, putri Umar bin Khattab. Mushaf yang disalin tersebut kemudian dikirimkan ke berbagai wilayah kekhalifahan Islam, seperti Mekkah, Madinah, Basrah, Kufah, dan Syam. Utsman juga memerintahkan agar seluruh salinan Al-Qur’an yang tidak sesuai dengan mushaf ini dihancurkan, untuk menghindari perbedaan bacaan yang berpotensi menimbulkan perselisihan.
Dengan langkah ini, Al-Qur’an dikodifikasi secara resmi dalam satu mushaf yang disebut Mushaf Utsmani. Teks ini tetap menjadi rujukan bagi umat Islam hingga saat ini, dan keaslian serta otentisitasnya terus dijaga melalui metode pengajaran yang ketat, baik melalui hafalan maupun penulisan.
Pentingnya Pengumpulan Al-Qur’an
Proses pengumpulan Al-Qur’an merupakan langkah kritis dalam sejarah Islam. Melalui upaya ini, keutuhan dan kemurnian teks Al-Qur’an tetap terjaga, dan umat Muslim di seluruh dunia dapat membaca dan mempelajari Al-Qur’an yang sama, tanpa ada perubahan atau penambahan. Hal ini juga menegaskan mukjizat Al-Qur’an, yang terjaga secara sempurna dari masa Nabi Muhammad SAW hingga sekarang, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami pula yang memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9).
Kesimpulan
Sejarah pengumpulan Al-Qur’an menunjukkan betapa pentingnya menjaga keaslian wahyu ini. Dari masa Nabi Muhammad SAW hingga kodifikasi oleh Khalifah Utsman bin Affan, proses ini dilakukan dengan sangat hati-hati dan teliti. Mushaf Utsmani yang dihasilkan menjadi rujukan utama bagi umat Islam, memastikan bahwa teks Al-Qur’an yang kita baca hari ini adalah sama dengan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sejarah ini juga mengajarkan pentingnya menjaga kemurnian ajaran agama dan kesatuan umat melalui upaya bersama dalam melestarikan kitab suci.
Referensi:
- Jalaluddin as-Suyuti, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, Darul Fikr, 2008.
- Manna’ Al-Qattan, Mabahith fi Ulum Al-Qur’an, Maktabah Al-Ma’arif, 1981.
- Shabbir Ahmad Usmani, Sejarah Pengumpulan Al-Qur’an, Al-Hidayah, 2002.
- Al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, Dar al-Gharb al-Islami, 2001.
- Mustafa Azami, The History of the Qur’anic Text: From Revelation to Compilation, Islamic Book Trust, 2003.
Leave a Reply