Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qur’an: Pengertian dan Pentingnya dalam Hukum Islam
Dalam tradisi tafsir Al-Qur’an dan ilmu ushul fiqh, konsep nasikh dan mansukh memainkan peran penting dalam memahami hukum-hukum yang termaktub dalam Al-Qur’an. Nasikh dan mansukh merujuk kepada ayat-ayat yang menghapus (nasikh) dan ayat yang dihapus (mansukh). Penggunaan konsep ini membantu ulama dalam memahami bagaimana hukum-hukum dalam Al-Qur’an dapat berkembang dan disesuaikan dengan konteks masyarakat yang berbeda.
Pengertian Nasikh dan Mansukh
Secara bahasa, nasikh berasal dari kata Arab “نسخ” yang berarti menghapus, menggantikan, atau mencabut. Dalam istilah syariat, nasikh merujuk pada hukum atau ketetapan yang menggantikan hukum yang sebelumnya ditetapkan. Sedangkan mansukh adalah hukum yang dihapus atau digantikan oleh ayat nasikh. Fenomena ini menunjukkan dinamika wahyu yang turun secara bertahap, di mana beberapa ayat yang lebih awal diturunkan digantikan atau disempurnakan oleh ayat-ayat yang turun kemudian.
Konsep nasikh dan mansukh merupakan bagian dari hikmah Allah dalam menurunkan Al-Qur’an secara bertahap selama 23 tahun masa kenabian Nabi Muhammad SAW. Pergantian hukum ini memungkinkan perubahan bertahap dalam masyarakat Arab saat itu, dari kebiasaan-kebiasaan jahiliyah menuju tatanan hukum Islam yang lebih sempurna.
Bentuk-bentuk Nasikh dan Mansukh
Ulama membagi nasikh dan mansukh dalam beberapa bentuk yang berbeda, tergantung pada bagaimana penghapusan atau penggantian terjadi:
- Nasikh hukum, tapi tidak teks
Dalam kasus ini, teks ayat tetap ada dalam Al-Qur’an, tetapi hukumnya tidak lagi berlaku karena telah dihapus oleh ayat yang lain. Contoh yang sering disebutkan adalah ayat tentang wasiat bagi kerabat dalam Surat Al-Baqarah ayat 180, yang dihapus hukumnya oleh ayat tentang warisan dalam Surat An-Nisa’ ayat 11. - Nasikh teks dan hukum
Ini adalah ayat yang dihapus baik dari segi teks maupun hukum. Salah satu contohnya yang diakui oleh beberapa ulama adalah ayat tentang rajam bagi pezina, yang diyakini sebagian ulama pernah ada, tetapi kemudian dihapus. - Nasikh teks tapi hukumnya tetap berlaku
Dalam kasus ini, teks ayat dihapus, tetapi hukumnya tetap berlaku. Ini jarang terjadi dan lebih banyak menjadi bahan perdebatan di kalangan ulama.
Hikmah Nasikh dan Mansukh
Penghapusan atau penggantian hukum dalam Al-Qur’an tidak dilakukan secara sembarangan, melainkan dengan hikmah yang mendalam. Berikut adalah beberapa alasan mengapa nasikh dan mansukh dianggap penting dalam syariat Islam:
- Perubahan Kondisi Sosial
Banyak aturan dalam Islam yang diatur secara bertahap karena masyarakat Arab pada masa itu memiliki banyak kebiasaan buruk yang sulit diubah dalam sekejap. Sebagai contoh, larangan minum khamar (alkohol) diturunkan secara bertahap melalui beberapa ayat. Pertama, ayat yang mengingatkan bahaya alkohol (QS. Al-Baqarah: 219), kemudian ayat yang melarang meminum khamar saat hendak shalat (QS. An-Nisa: 43), hingga akhirnya turun larangan total dalam QS. Al-Ma’idah: 90. - Penyempurnaan Hukum
Nasikh juga dilakukan untuk menyempurnakan hukum yang sebelumnya ditetapkan. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang fleksibel, yang memungkinkan adanya perubahan dan perkembangan sesuai dengan kebutuhan umat. Ayat yang diturunkan kemudian sering kali memberikan ketentuan hukum yang lebih lengkap dan mendetail. - Ujian bagi Kaum Muslimin
Penghapusan hukum dalam Al-Qur’an juga dapat dilihat sebagai ujian bagi kaum Muslimin dalam mematuhi perintah Allah. Hal ini menguji apakah mereka akan tetap setia mengikuti petunjuk Allah, meskipun terjadi perubahan dalam perintah-perintah tersebut.
Contoh Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qur’an
Salah satu contoh terkenal dari konsep nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an adalah dalam hal warisan. Pada awalnya, umat Islam diperintahkan untuk memberikan wasiat kepada keluarga terdekat sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 180:
“Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabatnya secara ma’ruf (ini adalah) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.”
Namun, ayat ini kemudian di-nasikh oleh QS. An-Nisa: 11 yang menjelaskan pembagian warisan secara lebih detail dan menghapus kewajiban untuk wasiat bagi ahli waris tertentu:
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.”
Perbedaan Pandangan Ulama
Tidak semua ulama sepakat tentang jumlah ayat yang dinasikh dan dimansukh dalam Al-Qur’an. Sebagian ulama, seperti Abu Muslim Al-Asfahani, bahkan menolak konsep nasikh dan mansukh dalam bentuk yang umum dipahami, karena mereka berpendapat bahwa semua ayat Al-Qur’an berlaku dan tidak ada yang dihapus secara permanen. Namun, mayoritas ulama menerima adanya nasikh dan mansukh, meskipun jumlah ayat yang mereka anggap sebagai contoh nasikh berbeda-beda.
Imam As-Suyuti dalam karyanya Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an menyebutkan sekitar 20 ayat yang di-nasikh. Sementara ulama lain menyebutkan jumlah yang lebih banyak atau lebih sedikit, tergantung pada metode penafsiran mereka.
Kesimpulan
Nasikh dan mansukh adalah bagian penting dari ilmu tafsir dan ushul fiqh yang memberikan wawasan tentang dinamika hukum dalam Al-Qur’an. Konsep ini membantu dalam memahami evolusi hukum-hukum Islam dan bagaimana Allah SWT mengatur umat Islam secara bertahap sesuai dengan kondisi sosial dan kebutuhan mereka. Memahami nasikh dan mansukh sangat penting bagi siapa pun yang ingin mendalami tafsir Al-Qur’an secara komprehensif.
Referensi:
- Jalaluddin As-Suyuti, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, Dar al-Fikr, 2008.
- Manna’ Al-Qattan, Mabahith fi Ulum Al-Qur’an, Maktabah al-Ma’arif, 1981.
- Muhammad Husain al-Dhahabi, Al-Tafsir wal Mufassirun, Dar al-Hadith, 2000.
- Ibn Kathir, Tafsir Al-Qur’an al-Azim, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1999.
- Al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001
Leave a Reply